HUBUNGAN MODEL ACCELERATED
LEARNING DAN KEMAMPUAN BERPIKIR LATERAL MATEMATIS SISWA
oleh Rachmat
Satrio W
Pendidikan merupakan
kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi oleh setiap individu. Anak usia
dini hingga orang dewasa membutuhkan pendidikan sebagai bekal menghadapi
tantangan perubahan jaman serta persaingan global yang makin marak terjadi di
era globalisasi ini. Menurut
Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Setiap individu wajib
menempuh pendidikannya di sekolah demi mendapatkan pengajaran dan latihan
sebagai bekal untuk menjalani masa depan.
Adapun tujuan pembelajaran matematika di sekolah
tercantum dalam Permendiknas No. 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,
yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1.
Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2.
Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan
manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika.
3.
Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang
diperoleh.
4.
Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5.
Memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin
tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan masalah.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam Principles and Standard For School Mathematics (NCTM, 2000)
disebutkan juga bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah untuk
mengembangkan: (1) kemampuan pemecahan masalah, (2) kemampuan pemahaman, (3)
kemampuan komunikasi, (4) kemampuan koneksi, dan (5) kemampuan representasi.
Selain kemampuan-kemampuan yang menjadi tujuan tersebut, dalam pembelajaran
matematika siswa perlu dibekali dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kemampuan
berpikir tersebut diperlukan agar siswa memiliki kemampuan memperoleh,
mengelola, dan memanfaatkan informasi dalam mengambil sebuah keputusan dari
suatu permasalahan kehidupan di masa sekarang dan masa depan yang penuh dengan
tantangan dan perubahan yang terjadi dengan cepat.
Kemampuan berpikir memegang peranan
penting dalam menjalani setiap aspek kehidupan. Berpikir adalah
berkembangnya ide dan konsep di dalam diri seseorang (Bochenski dalam Ratih,
2010). Setiap
individu mempunyai cara berpikir masing-masing sehingga dari cara mereka
berpikir akan mempengaruhi keputusan mereka dan akan berbeda-beda pula
hasilnya. Namun, perbedaan dalam hal ini adalah sebuah keunikan dan bisa
menjadi kesempurnaan ketika dikombinasikan antara pemikiran yang satu dengan
pemikiran yang lainnya. Di dalam pembelajaran matematika ada banyak masalah
yang disajikan dan memerlukan kemampuan-kemampuan tertentu untuk menyelesaikan
masalah, salah satunya kemampuan berpikir lateral. Berpikir lateral adalah
kemampuan untuk berpikir kreatif dengan menggunakan inspirasi dan imajinasi
untuk memecahkan masalah dengan melihat mereka dari perspektif yang tak
terduga. Kemampuan
berpikir lateral merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika di
sekolah, kompetensi ini diperlukan dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu
kompetensi berpikir lateral perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika
agar dapat menghasilkan produk-produk yang berkualitas dan memiliki kecerdasan.
Kemampuan berpikir lateral sangat baik dikembangkan dalam pembelajaran
matematika agar siswa tidak mudah cepat menyerah dan mengalami kebuntuan dalam
menyelesaikan suatu permasalahan.
Saat ini, pada umumnya kegiatan pembelajaran matematika di
sekolah menggunakan model konvensional. Siswa lebih banyak mendengarkan
penjelasan guru di depan kelas dan mengerjakan latihan soal-soal yang diberikan
seperti contoh yang telah dijelaskan. Sehingga siswa kurang diberikan
kesempatan untuk menggunakan alternative lain dalam menyelesaikan soal dari permasalahan
yang diberikan. Soal-soal yang diberikan masih bersifat close problem yakni tipe masalah yang
diberikan mempunyai cara dan jawaban yang tunggal, serta soal-soal yang
diberikan bersifat rutin sehingga kurang melatih kemampuan berpikir siswa untuk
berpikir tingkat tinggi.
Fakta yang terjadi di lapangan menurut survei kemampuan yang
dilakukan oleh Programme for
International Student Assessment (PISA) (Fitri, 2013) pada 3
penyelenggaraan terakhir yaitu tahun 2006, 2009, dan 2012. Indonesia menduduki
peringkat 50 dari 57 negara dengan perolehan skor rata-rata 391 pada tahun 2006,
peringkat 61 dari 65 negara dengan perolehan skor rata-rata 371 pada tahun 2009,
serta peringkat 64 dari 65 negara dengan perolehan skor rata-rata 375 pada
tahun 2012. Kompetensi yang diujikan dalam PISA ini lebih mengacu pada
pemahaman, penalaran, dan proses berpikir matematika tingkat tinggi.
Penilaian PISA ini berdasarkan pada tiga komponen, yaitu
komponen konten, komponen proses dan komponen konteks. Kemampuan proses
didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam merumuskan, menggunakan dan
menafsirkan matematika untuk memecahkan masalah yang melibatkan kemampuan dalam
komunikasi, matematisasi, representasi, penalaran dan argumentasi, menentukan
strategi untuk memecahkan masalah, penggunaan bahasa simbol, bahasa formal, dan
bahasa teknis sebagai alat matematika.
Peningkatan kemampuan berpikir lateral matematis dapat
dilakukan dengan pemilihan model pembelajaran yang sesuai dan tepat sehingga
siswa dapat lebih meningkatkan kemampuan berpikir lateral matematisnya. Untuk
mencapai tujuan dari pembelajaran matematika tersebut, maka seharusnya guru dapat memberikan kebebasan berpikir kepada siswa agar
mereka dapat menggunakan strategi sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki. Dalam proses
pembelajaran perlunya siswa untuk berperan aktif, dan juga perlunya adanya diskusi kelas agar siswa dapat
bertukar pikiran sehingga diperoleh sudut pandang yang berbeda
Istilah berpikir
lateral ini dikemukakan pertama kali tahun 1967 oleh Edward de Bono, seorang
psikologi asal Malta. Berpikir lateral adalah kemampuan untuk berpikir kreatif
atau “di luar kotak” dengan menggunakan inspirasi dan imajinasi untuk
memecahkan masalah dengan melihat mereka dari perspektif yang tak terduga.
Berpikir lateral meninggalkan pemikiran cara tradisional, dan membuang
prasangka.
Menurut De Bono (1991)
“Lateral thinking is a term coined for
the solution of problems through an indirect and creative approach. Lateral
thinking is about reasoning that is not immediately obvious and about ideas
that may not be obtainable by using only traditional step-by-step logic”.
Berpikir lateral adalah memecahkan masalah melalui pendekatan langsung dan
pendekatan kreatif, dengan menggunakan penalaran yang tidak segera jelas dan
melibatkan ide-ide yang mungkin tidak diperoleh dengan hanya menggunakan logika
langkah-langkah tradisional.
De Bono (1991) juga
menyatakan bahwa berpikir lateral berkaitan erat dengan pembangkit gagasan
baru. Terdapat suatu perasaan ingin tahu bahwa gagasan baru berkaitan dengan
penemuan cara. Berpikir lateral juga memiliki peranan, yaitu dengan berpikir
lateral seseorang dapat berpikir bebas dalam arti seseorang dapat berpikir
sesuatu dari sudut pandang yang baru tidak harus sama dengan pola pikir yang
sudah lazim sebelumnya. De Bono (2007) mengatakan bahwa berpikir lateral
berhubungan erat dengan kreativitas. Tetapi apabila kreativitas seringkali
hanya merupakan deskripsi suatu hasil, maka berpikir lateral adalah deskripsi
suatu proses.
Hawkins & Allen
(1992) mendefinisikan berpikir lateral adalah metode pemecahan masalah lewat
pendekatan tak lazim, atau memakai unsur-unsur yang biasanya diabaikan oleh
cara berpikir logis. Lalu Longman Group (1992) mendefinisikan berpikir lateral
sebagai cara kreatif berpikir yang mencoba menggunakan imajinasi dan humor
untuk menemukan sesuatu yang baru dan berpikir cerdik untuk berbagai masalah.
Berpikir lateral disebut juga berpikir zig-zag,
seringkali dipertentangkan dengan berpikir lurus, vertikal, yang selalu runtun
menurut logika. Dalam berpikir lateral, kita boleh saja menyimpang,
berbelok-belok, bahkan melompat dari satu gagasan ke gagasan lain. Kita
memperbolehkan melepaskan diri dari kebiasaan atau pola-pola pikir yang selama
ini.
Menurut De Bono (1991),
yang menjadi masalah dalam berpikir lateral adalah kekayaan keragaman pikiran.
Dalam berpikir lateral sedapat mungkin dikembangkan sebanyak-banyaknya
pendekatan alternatif demi pengembangan dan penemuan sesuatu dengan cara yang
tidak biasa. Dengan berpikir lateral direncanakan eksperimen agar memperoleh
peluang guna mengubah gagasan. Gaya berpikir lateral yaitu bagaimana siswa
mampu mencari berbagai alternatif penyelesaian masalah yang mungkin dilakukan
dalam memecahkan masalah matematika.
Menurut Badi &
Tajdin (dalam Arsisari, 2014), dua fungsi yang dijalankan dalam berpikir
lateral yaitu:
1.
Fungsi
provokatif dan permisif, menyatukan informasi melalui cara-cara baru dan
membiarkan penyusunan informasi yang tidak dibenarkan.
2.
Fungsi
pembebasan, mengacaukan pola lama dan membiarkan informasi yang terpenjara
muncul serentak dalam cara baru.
Selanjutnya De Bono
(1991) mendefinisikan empat aspek utama berpikir lateral, yaitu:
1.
The recognition of dominant polarizing
ideas
(identifikasi/pengenalan gagasan-gagasan pembeda yang dominan).
2.
The search for different ways of looking
at things (pencarian cara
yang berbeda dalam melihat sesuatu).
3.
A relaxation of the rigid control of
vertical thinking (relaksasi
kontrol yang kaku dari cara berpikir vertikal).
4.
The use of chance (penggunaan kesempatan).
Model Accelerated Learning merupakan
sebuah pendekatan alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah-masalah yang terkait dengan pembelajaran di sekolah yang berusaha
menekankan keaktifan siswa dalam belajar. Menurut Russel (2011, hlm. 5) Accelerated
pada dasarnya berarti semakin bertambah cepat. Learning didefinisikan
sebagai sebuah proses perubahan kebiasaan yang disebabkan oleh penambahan
keterampilan, pengetahuan, atau sikap baru.
Beberapa definisi Accelerated Learning menurut para ahli
(Meier, 2002) :
1)
Menurut Dr. George
Lazanov
Accelerated
Learning adalah model
pembelajaran yang menciptakan proses lingkungan dan pengajaran untuk
memungkinkan peserta didik untuk bergerak di luar membatasi keyakinan dan kesalahpahaman
dan memanfaatkan potensi tersembunyi mereka.
2)
Menurut Dave Meier
Accelereted
Learning adalah salah satu
cara belajar alamiah yang diyakini mampu menghasilkan tokoh orisinil dalam
menghadapi era-kesemerawutan. Karena Accelereted
Learning pada intinya adalah filosofi pembelajaran dan kehidupan yang
mengupayakan demekanisasi dan memanusiakan kembali, serta menjadikan pengalaman
bagi seluruh tubuh, pikiran, dan pribadi.
Menurut Rose dan
Nicholl (2012) Accelerated Learning
adalah kemampuan menyerap dan memahami informasi baru dengan cepat dan
menguasai informasi tersebut. Syarat bagi pembelajaran yang efektif adalah
dengan menghadirkan lingkungan yang mendukung dan menyenangkan. Dalam model Accelerated Learning, Rose dan Nicholl
(2012:94) mengemukakan enam langkah yang menjadi dasar Accelerated Learning. Keenam langkah dasar itu menjadi prinsip yang
disingkat dengan istilah M-A-S-T-E-R, yaitu:
1)
Motivating Your Mind (Memotivasi
Pikiran)
Langkah pertama adalah memotivasi pikiran siswa untuk siap
belajar. Guru berkewajiban membuat keadaan pikiran siswa relaks, percaya diri,
dan termotivasi. Karena jika siswa berada pada keadaan stres atau kurang
percaya diri akan muncul ketakutan dan ketegangan sehingga siswa tidak akan
melihat manfaat dari yang mereka pelajari yang berakibat siswa tidak dapat
belajar dengan baik.
Memiliki sikap yang benar terhadap belajar
tentang sesuatu adalah prasyarat mutlak, mempunyai keinginan untuk memperoleh
keterampilan atau pengetahuan baru dan percaya diri bahwa kita mampu belajar
maka informasi yang didapatkan akan mempunyai dampak bermakna bagi kehidupan.
Oleh karena itu, guru memotivasi bahwa setiap siswa mampu memperoleh nilai 100,
hanya setiap siswa memiliki keinginan dan waktu yang berbeda-beda dalam
memahami pelajaran.
2)
Acquiring The Information
(Memperoleh Informasi)
Siswa perlu mengambil, memperoleh, dan menyerap fakta-fakta
dasar dari materi yang akan dipelajari. Guru menjelaskan materi secara garis
besar atau gagasan inti dari materi yang diajarkan untuk selanjutnya siswa yang
menggali dan mengembangkan informasi.
3)
Searching Out The Meaning (Menyelidiki
Makna)
Pada tahap ini, siswa dituntut untuk membuat makna dan
memahami materi yang dipelajari, yaitu dengan jalan guru memberikan sejumlah
masalah atau pertanyaan yang mendorong siswa menemukan sendiri penyelesaian
masalah. Mengubah fakta menjadi makna adalah hal dimana kedelapan kecerdasan
kita berperan aktif. Setiap jenis kecerdasan adalah sumber daya yang bisa kita
terapkan ketika mengeksplorasi dan menginterpretasikan fakta-fakta dari subjek
pelajaran.
4)
Triggering The Memory (Memicu
Memori)
Rose dan Nicholl (2012, hlm. 179) dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa 70% dari apa yang dipelajari hari ini dapat terlupakan dalam
jangka waktu 24 jam apabila tidak melakukan upaya khusus untuk mengingatnya.
Dan ingatlah bahwa di samping setiap orang memiliki berbagai tipe kecerdasan
yang berbeda, mereka juga memiliki daya ingat (kemampuan mengingat) yang berbeda.
Hal ini berarti pengulangan materi sangat perlu dilakukan untuk memicu memori
siswa. Exhibiting What You Know (Mempresentasikan)
Para siswa perlu menilai dan mendemonstrasikan apa yang
telah mereka pelajari serta bagaimana strategi belajar mereka bekerja dengan
baik. Memamerkan apa yang telah diketahui dalam bentuk sharing antarsiswa, antarkelompok, dan antar yang tahu ke yang
belum tahu. Setiap kelompok diberi kesempatan untuk mempresentasikan apa yang
telah mereka ketahui dan kelompok lain memberi umpan balik seperti bertanya dan
menanggapi.
5)
Reflecting How You’ve Learned (Merefleksikan)
Siswa mengevaluasi cara dan hasil
belajarnya. Merefleksikan pengalaman belajar siswa tidak hanya pada apa yang
telah siswa pelajari tetapi juga bagaimana mereka mempelajarinya. Refleksi
merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru
diterima. Mengkaji dan merenungkan kembali pengalaman belajar dapat membantu
siswa mengubah karang penghalang yang keras menjadi batu pijak untuk melompat
kedepan. Siswa mampu menyingkirkan gagasan yang mustahil diterapkan dan mencoba
pengalaman yang baru.
Hubungan Model Accelerated
Learning dan Kemampuan Berpikir Lateral Matematis
Kemampuan berpikir lateral merupakan salah satu tujuan
pembelajaran matematika di sekolah, kompetensi ini diperlukan dalam memecahkan
masalah. Dalam kemampuan berpikir lateral yang diutamakan adalah
bagaimana siswa dapat memunculkan ide-ide tanpa memandang penilaian hasilnya. Dengan berpikir
lateral, dari suatu permasalahan yang ada kita tidak langsung melompat ke
pencarian solusi, tetapi memunculkan terlebih dahulu ide-ide yang memungkinkan
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Karena menurut Pauling (dalam Rose
dan Nicholl : 2012) cara terbaik untuk memperoleh ide yang baik adalah dengan
mendapatkan banyak ide.
Untuk meningkatkan
kemampuan berpikir lateral matematis dapat dilakukan dengan pemilihan model pembelajaran yang
tepat, dimana guru dapat memberikan kebebasan berpikir kepada siswa agar mereka
dapat menggunakan strategi sesuai
dengan pengetahuan yang mereka miliki, dalam proses pembelajaran perlunya siswa
untuk berperan aktif, dan juga perlunya adanya diskusi kelas agar siswa dapat
bertukar pikiran sehingga diperoleh sudut pandang yang berbeda. Salah satu
alternatif pembelajaran yang bisa digunakan adalah model
Accelerated Learning.
Salah satu tahapan
dalam model Accelerated Learning adalah Searching
Out The Meaning (Menyelidiki Makna). Ketika proses diskusi dalam kelompok
berlangsung, siswa dapat menggunakan teknik The
Six Thinking Hats (Enam Topi Berpikir), yang diciptakan oleh De Bono
(2007), yang merupakan penerapan dari berpikir lateral. Teknik ini melihat
suatu masalah dari berbagai sudut pandang dan mengelola ide/pemikiran agar
tidak melebar dan selalu tetap pada jalurnya sehingga akan memudahkan
pengambilan keputusan. Dengan teknik ini, diskusi dapat berjalan dengan singkat
dan efektif sesuai dengan model Accelerated
Learning yaitu belajar
lebih cepat dan mengingat lebih banyak.
Jadi model Accelerated Learning merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan kemampuan
berpikir lateral matematis siswa. Karena pada dasarnya kemampuan berpikir
lateral matematis yaitu menemukan alternatif penyelesaian yang mungkin
dilakukan dalam pemecahan masalah dilihat dari berbagai sudut pandang, oleh
karena itu siswa bisa belajar untuk menentukan strategi yang tepat untuk
memecahkan masalah dan berdiskusi dengan siswa yang lain sehingga diperoleh
sudut pandang yang berbeda dan menghasilkan alternatif-alternatif jawaban dalam
memecahkan suatu masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Arsisari,
A. (2014). Penerapan Pendekatan Problem
Centered Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Lateral dan Persistance
(Kegigihan) Matematis Siswa SMP. Tesis SPS UPI: Tidak Diterbitkan.
De
Bono, E. (1991). Berpikir Lateral: Buku
Teks Kreativitas, terjemahan Sinaga. Jakarta: Erlangga.
De Bono, E. (2007). Revolusi Berpikir, terjemahan Sitompul.
Bandung: Kaifa.
Fitri. (2013). Skor
PISA: Posisi Indonesia Nyaris Jadi Juru Kunci [Online] Tersedia : http://www.kopertis12.or.id/2013/12/05/skor-pisa-posisi-indonesia-nyaris-jadi-juru-kunci.html
[21 April 2015].
Hawkins,
J. M. & Allen, R. (1992). The Oxford
Encyclopedic Dictionary. New York: Clarendon Press Oxford.
Longman
Group. (1992). Longman Dictionary of
English Language and Culture. England: Longman Grup UK Limited.
Meier, D. (2002). The
Accelerated Learning Handbook, terjemahan Asuti. Bandung: Kaifa.
National Council of
Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles
and Standards for School Mathematics. [Online]. Tersedia di: http://www.nctm.org/uploadedfiles/math_standards/12752_exec_pssm.pdf.
[21 April 2015].
Permendiknas. (2006).
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Jakarta: BSNP.
Ratih,
dkk. (2010). Berpikir (Thinking).
Psikologi. OR.ID. Jurnal Kajian Psikologi. ISSN 977 2302-1160. Online
Tersedia: [http://psikologi.or.id/psikologi-umum
Pengantar/berpikir-thinking.htm] [15 April 2015].
Rose,
C. dan Nicholl, M. J.. (2012). Accelerated
Learning For The 21st Century: Cara Belajar Cepat Abad XXI,
terjemahan Ahimsa. Bandung: Nuansa.
Russel, L. (2011). The Accelerated Learning Fieldbook,
terjemahan Zakkie. Bandung: Nusa
Media.
Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
How to play the Baccarat table - WORRione
BalasHapusThe first trick to 제왕카지노 winning at Baccarat is 바카라 사이트 the highest value bet. You'll see the winning combinations in the numbers. The next point will 바카라 be the sum of the